Kisah santai informatif – Dalam gemerlapnya dunia digital yang terus berkembang, problema Generasi Z (Gen Z) muncul sebagai kekuatan dominan yang terikat erat dengan tiga kata kunci yaitu Kreativitas, Koneksi, dan Kesehatan Mental. Mereka bukan hanya pemain kunci dalam membentuk masa depan kreatif dan konektivitas, tetapi juga menimbulkan tantangan baru, termasuk literasi digital yang belum merata.[1]
Manajemen identitas digital dan pola pikir daring masih minim pemahamannya di kalangan Gen Z. Dalam sebuah studi, kekurangan pengetahuan ini terkait erat dengan kesehatan mental mereka.[4] Sebagai tanggapan, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) hadir dengan “Obral Obrol Literasi Digital” bertajuk “TrenGenZ: Kreativitas, Koneksi, dan Kesehatan Mental di Dunia Digital”, membahas bagaimana Gen Z dapat memaksimalkan potensi kreatifnya di dunia digital sambil menjaga kesehatan mental.[2]
Anita Wahid, Penggiat Literasi Digital dari Mafindo, mengamati bahwa meskipun Gen Z sering dijuluki sebagai generasi paling kreatif, setiap generasi memiliki porsi kreativitasnya sendiri.[2] Mereka lahir dan tumbuh dalam lingkungan teknologi yang pesat, memberi mereka banyak kesempatan untuk berinovasi dengan sensori dan kecerdasan buatan.
Gen Z juga dikenal karena kemampuannya dalam mengekspresikan diri tanpa takut akan konsekuensi sosial. Mereka mampu menggabungkan ide kreatif dalam dunia kewirausahaan, menciptakan usaha dengan ‘taste’ khas mereka sendiri.
“Baca: Dampak PHK Besar-besaran Tiktok Terhadap Lingkup Ketenagakerjaan” [3]
Sebagai perwakilan suara Generasi Z, Founder @pasti.id & Mental Health Influencer, Yofania Asyifa Jami, berbagi tips untuk mengoptimalkan potensi diri Gen Z dalam dunia digital.[4] Dengan berbagai platform digital yang tersedia, mereka dapat memilih platform sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Misalnya, penggemar tulisan dapat menggunakan platform X, sementara penggemar audio visual dapat memanfaatkan Instagram atau YouTube.
Meskipun media sosial memberi kebebasan untuk berekspresi, Yofania menekankan pentingnya menetapkan batasan. Berbagi berlebihan, terutama data pribadi, harus dihindari. Meskipun virtual, media sosial dapat meningkatkan keterlibatan langsung dan memperluas jaringan pertemanan dan interaksi sosial di dunia digital.
Psikolog Klinis, Marissa Meditania, menyoroti tantangan identitas diri yang dihadapi Gen Z di era media sosial yang pesat ini. Rentang umur mereka, antara belasan hingga 25 tahun, merupakan masa krusial dalam menemukan jati diri dan membuat keputusan.[4] Penggunaan media sosial sebagai pelarian dari masalah kehidupan nyata juga menjadi perhatian, karena dapat memicu ketergantungan dan masalah kesehatan mental.
Problema dunia digital tidak hanya dialami oleh Gen Z, tetapi oleh setiap generasi dengan kadar yang berbeda. Dengan literasi digital yang kuat, Gen Z dapat menavigasi dunia digital dengan bijak, mengelola identitas daring dengan cerdas, dan menciptakan masa depan yang gemilang.[1]
“Simak: Bak Pahlawan, 8 Penyelamatan Ajaib Maarten Paes Selamatkan FC Dallas” [5]
[1] https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20240429131858-190-1091708/tantangan-gen-z-kuasai-digital-jaga-mental-ciptakan-masa-depan
[2] https://nasional.sindonews.com/read/1367045/15/95-persen-gen-z-habiskan-waktu-di-medsos-kominfo-imbau-jaga-kesehatan-mental-1714226697
[3] https://infoterpenting.com/berita/phk-tiktok-dampak-besarnya-terhadap-lingkup-ketenagakerjaan/
[4] https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/Zkeapwqk-pencarian-jati-diri-tantangan-gen-z-hadapi-gempuran-media-sosial
[5] https://kasihterbaru.online/2024/05/23/maarten-paes-jadi-pahlawan-fc-dallas-8-penyelamatan-ajaib/