Nissan Pangkas 10 Ribu Pekerja di Gelombang PHK Terbaru
Kisah Santai – Nissan Motor Corporation mengumumkan akan memutus hubungan kerja dengan 10 ribu karyawannya secara global. Keputusan ini menambah jumlah PHK sebelumnya yang mencapai 20 ribu orang, atau sekitar 15 persen dari total tenaga kerja. Langkah ini diambil sebagai respons atas situasi berat yang terus menekan perusahaan selama beberapa waktu terakhir.
Pabrikan asal Jepang ini menghadapi berbagai tantangan serius. Melemahnya penjualan di China dan penurunan pasar di Amerika Serikat membuat Nissan kehilangan daya saing. Dampaknya, perusahaan terpaksa melakukan efisiensi besar-besaran untuk menekan kerugian dan menjaga kelangsungan bisnis.
“Baca Juga: Clair Obscur Tuai Pujian Presiden Prancis”
Gelombang PHK bukan hal baru. Sebelumnya, perusahaan sempat berencana mem-PHK 9 ribu orang, kemudian angka itu meningkat menjadi 11 ribu, dan akhirnya melebihi 20 ribu. Kini, tambahan 10 ribu pekerja kembali menjadi target pengurangan tenaga kerja.
Selain PHK, Nissan juga mengambil keputusan menutup beberapa fasilitas produksi. Satu pabrik di Thailand dan dua di negara lain sudah resmi dihentikan operasinya. Penutupan ini menjadi bagian dari strategi perusahaan untuk memangkas biaya operasional yang terus membengkak.
Berdasarkan laporan keuangan terakhir untuk tahun fiskal 2024 yang berakhir pada Maret, Nissan melaporkan kerugian bersih sebesar 700 hingga 750 miliar yen. Jika dikonversi, jumlah tersebut setara dengan Rp 76 hingga 82 triliun. Ini merupakan salah satu kerugian terbesar dalam sejarah perusahaan.
Kerugian tersebut sebagian besar disebabkan oleh melemahnya daya saing Nissan di dua pasar utamanya: Amerika Serikat dan China. Di Amerika Serikat, Nissan gagal memanfaatkan tren pertumbuhan mobil elektrifikasi. Mereka tertinggal dibanding pesaing dalam menghadirkan produk hybrid dan Battery Electric Vehicle (BEV) yang kompetitif. Padahal, permintaan untuk mobil listrik di wilayah tersebut terus meningkat.
Sementara itu, di China — pasar otomotif terbesar di dunia — Nissan harus menghadapi persaingan ketat dari produsen lokal yang bergerak lebih cepat dan agresif dalam inovasi. Merek-merek seperti BYD dan NIO mengambil pangsa pasar secara signifikan, memaksa Nissan untuk mengevaluasi kembali strategi mereka di wilayah tersebut.
Kehilangan momentum di dua pasar utama ini memberikan tekanan besar terhadap pendapatan dan keberlanjutan operasi global Nissan. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan Nissan tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga strategis dan struktural.
“Baca Juga : Bhayangkara Presisi Taklukkan LavAni di Final Proliga”
Sebagai respons atas krisis yang dihadapi, Nissan menyusun kembali rencana bisnis globalnya. Salah satu fokus utama perusahaan adalah memperkuat portofolio kendaraan listrik. Nissan mengumumkan akan meluncurkan 10 model mobil listrik (BEV) baru dalam beberapa tahun mendatang. Strategi ini bertujuan untuk mengembalikan daya saing perusahaan, khususnya di pasar-pasar yang mengarah ke elektrifikasi.
Langkah ini juga diharapkan dapat meningkatkan citra merek Nissan sebagai produsen kendaraan yang relevan dengan tren masa depan. Namun, Nissan masih menghadapi sejumlah hambatan dalam merealisasikan rencana tersebut, terutama dari sisi pendanaan dan efisiensi produksi.
Salah satu pukulan berat datang dari keputusan untuk menghentikan pembangunan pabrik baterai di Jepang. Proyek senilai USD 1,1 miliar itu awalnya dirancang untuk mendukung produksi kendaraan listrik agar memenuhi syarat insentif pemerintah Jepang. Namun, karena tekanan biaya dan perhitungan ulang strategi, proyek itu kini dihentikan.
Penundaan proyek ini mencerminkan bahwa meskipun Nissan memiliki visi untuk bertransformasi, mereka masih terhambat oleh keterbatasan sumber daya dan belum solidnya arah strategi. Di tengah persaingan industri yang bergerak cepat, setiap langkah mundur akan memberi ruang bagi kompetitor untuk melaju lebih jauh.